Rabu, 30 Mei 2012

Target SERTIFIKASI Guru pada 2016


Kemendiknas Kejar Target Sertifikasi Guru pada 2016
Selasa, 18 Mei 2010, 04:59 WIB
http://www.republika.co.id/files/images/zoom-kecil.jpghttp://www.republika.co.id/files/images/zoom-sedang.jpghttp://www.republika.co.id/files/images/zoom-besar.jpg

Kemendiknas
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menargetkan akan mengejar guru bersertifikasi pada 2016. Berdasarkan data Kemendiknas, kebanyakan dari guru yang belum bersertifikasi adalah guru sekolah dasar (SD).

"Ada total 2,5 juta guru SD. Kami berharap di tahun 2016 selesai semua," ujar Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Fasli Jalal, di Kantor Kemendiknas, Senin (17/5).

Fasli menjelaskan, target kejar guru bersertifikasi tersebut akan dicapai dengan pemberian beasiswa. Beasiswa khusus diberikan langsung dari Kemendiknas yakni untuk 200 ribu guru per tahunnya.Dengan bantuan beasiswa dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, maka tiap tahunnya 400 ribu guru mendapatkan beasiswa untuk mendapat gelar sarjana.

Saat ini ada sekitar 2,6 juta guru yang berada di bawah naungan Kemendiknas. Dari angka tersebut, kata Fasli, ada sekitar 800-900 ribu guru yang belum menggenggam ijazah S1. Bagian terbesar adalah guru SD. Padahal, sesuai Undang-Undang (UU) No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1/D-IV) dan memiliki sertifikat pendidik melalui pendidikan profesi guru (PPG).

Oleh karena itu, kata Fasli, mereka harus dijemput dengan berbagai cara agar tidak perlu keluar dari daerahnya, tetapi para guru itu akan tetap bisa mendapatkan hak pendidikan yang dibiayai oleh pemerintah. "Jika mereka telah menyelesaikan S1, mereka juga diperkenankan untuk masuk uji sertifikasi. Jika lulus sertifikasi, maka kesejahteraannya secara otomatis akan kami tingkatkan satu kali lipat,'' paparnya.

Beasiswa untuk meningkatkan potensi akademik itu tidak hanya diberikan oleh pemerintah saja, melainkan juga dari pihak swasta yang peduli dengan pendidikan. Bahkan, jika guru tersebut mau mengajar di tempat terpencil, maka selain tunjangan profesi bagi yang telah bersertifikat akan ditambah dengan gaji dan tunjangan khusus.

Berdasarkan data Kemendiknas, saat ini ada sekitar 2.607.311 guru yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 535.601 (20,54 persen) guru merupakan tamatan SMA. Kemudian, 49.763 (1,90 persen) lulusan D-I, 790.030 (30,30 persen) tamatan D-II,dan 121.327 (4,65%) lulusan D-III. Untuk guru lulusan sarjana (S-1) tercatat sebanyak 1.092.912 (41,91 persen), tamatan magister (S-2) 17.619 (0,67 persen), dan lulusan doktor (S-3) sebanyak 59 orang.

Dari angka itu, sebanyak 195.387 guru di seluruh Indonesia, mulai dari SD, SMP hingga SMA/sederajat, sudah memasuki masa pensiun sepanjang 2009 sampai 2014.

Moga bermanfaat...............

Senin, 21 Mei 2012

JAM WAJIB MENGAJAR GURU mulai TP 2011/12


Jam Wajib Mengajar Guru Mulai Tahun Pelajaran 2011/2012
Secara resmi Dinas Pendidikan Kabupaten Pekalongan, melalui surat Nomor 800/1085/2011 perihal beban kerja guru telah menginformasikan ketentuan jam wajib mengajar guru terhitung mulai tahun pelajaran 2011/2012. Di dalam surat yang ditujukan kepada Kepala UPT Kecamatan serta Kepala SMP/SMA/SMK Neheri dan Swasta itu dinyatakan bahwa pembagian tugas beban kerja guru paling sedikit 24 jam tatap muka per minggu, kecuali yang mendapat tugas tambahan yang diperhitungkan sebagai beban kerja, sesuai dengan PP 74 Tahun 2008, pasal 15 ayat 3.
Menindaklanjuti isi surat tersebut maka dalam implementasinya berarti semua guru, baik yang telah bersertifikat maupun yang belum bersertifikat harus memenuhi jam wajib mengajar minimal, yakni 24 jam. Pemenuhan jam wajib mengajar terkait erat dengan pengajuan PAK (yang baru) yang akan diberlakukan tahun 2013 nanti. Oleh karena hal tersebut, agar pengajuan PAK tidak terkendala, pihak sekolah harus sudah merancang dari sekarang agar jam wajib mengajar guru minimal 24 jam per minggu.
Khusus untuk yang mendapat tugas tambahan, pemenuhan jam disesuaikan dengan PP 74 Tahun 2008. Pada Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru yang diterbitkan Dirjen PMPTK berkaitan dengan tugas tambahan guru dijelaskan sebagai berikut:
1. Tugas sebagai Kepala Sekolah ekuivalen dengan 18 jam, sehingga minimal wajib mengajar 6 jam
2. Tugas sebagai Wakil Kepala Sekolah ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
3. Tugas sebagai Kepala Perpustakaan ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
4. Tugas sebagai Kepala Laboratorium ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
5. Tugas sebagai Ketua Jurusan Program Keahlian ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib     mengajar 12 jam
6. Tugas sebagai Kepala Bengkel ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
7. Tugas sebagai Pembimbing Praktik Kerja Industri ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
8. Tugas sebagai Kepala Unit Produksi ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
Selain tugas tambahan di atas, kegiatan pembimbingan siswa, termasuk kegiatan ekstrakurikuler, juga bisa dianggap sebagai kegiatan tatap muka. Khusus untuk wali kelas tidak dianggap sebagai tugas tambahan.
Ketentuan untuk Guru Bersertifikat
Khusus untuk ketentuan guru yang telah mengikuti kegiatan sertifikasi, jam minimal wajib mengajar adalah 24 jam, kecuali yang mendapat tugas tambahan di atas. Di samping itu, pemenuhan jam wajib mengajar haruslah mata pelajaran sendiri (pemenuhan jam wajib mengajar tidak dibenarkan diambil dari mata pelajaran yang lain maupun serumpun). Ketentuan ini lebih longgar bagi guru yang belum bersertifikat, untuk pemenuhan jam wajib mengajar masih dibenarkan mengampu mata pelajaran lain terkait nantinya dengan pengajuan PAK.
Melalui email yang saya terima dari Kepala SMP 1 Wiradesa, Bapak Aji Suryo Sumanto, ada rambu-rambu berkaitan guru yang sudah bersertifikat. Email berupa surat yang berasal dari LPMP Provinsi Jawa Tengah dan ditujukan kepada Kepala Dinas Dikpora Kota Pekalongan tertanggal 26 April 2011 itu berisi ketentuan bagi guru yang sudah bersertifikat sebagai berikut:
1. Guru yang mengajar pada Kejar Paket A, B, atau C tidak bisa diperhitungkan jam mengajarnya
2. Guru Mapel SMP (selain Penjasorkes dan Agama) tidak boleh mengajar di SD, karena guru SD pada dasarnya adalah guru kelas
3. Penambahan jam pada struktur kurikulumpaling banyak 4 jam per minggu berdasarkan standar isi KTSP
4. Program pengayaan atau remedial teaching tidak diperhitungkan jam mengajarnya
5. Pembelajaran ekstrakurikuler tidak diperhitungkan jam mengajarnya, meskipun sesuai dengan sertifikasi mata pelajaran
6. Pemecahan Rombel dari 1 kelas menjadi 2 kelas diperbolehkan, dengan syarat dalam 1 kelas jumlah siswa minimal 20
7. Pembelajaran Team teaching tidak diperbolehkan kecuali untuk mata pelajaran Produktif di SMK
8. Guru Bahasa Indonesia yang mengajar Bahasa Jawa, jam mengajar Bahasa Jawanya tidak diperhitungkan. Mata Pelajaran yang serumpun adalah IPA dan IPS dan hanya boleh untuk tingkat SMP
9. Pengembangan diri siswa tidak diperhitungkan jam mengajarnya
Demikian ketentuan jam wajib mengajar guru yang secara resmi mulai diberlakukan mulai Juli 2011 nanti. 
Sekian, mudah2an bermanfa'at..................

Kamis, 17 Mei 2012

Permendikbud No. 60 tahun 2011

                                                                       SALINAN
                                         MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
                                                            REPUBLIK INDONESIA
                               PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
                                                            REPUBLIK INDONESIA
                                                           NOMOR 60 TAHUN 2011
                                                                        TENTANG
                                         LARANGAN PUNGUTAN BIAYA PENDIDIKAN
                       PADA SEKOLAH DASAR DAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
                                         DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
                    MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;
b. bahwa pungutan membebani masyarakat sehingga dapat menghambat akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan pendidikan dasar;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama;

Mengingat :
1.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4863);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4864);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5105) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5157);
6. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011;
7. Peraturan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 56/P Tahun 2011;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TENTANG LARANGAN PUNGUTAN BIAYA PENDIDIKAN PADA SEKOLAH DASAR DAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Sekolah adalah satuan pendidikan penyelenggara program wajib belajar yang meliputi Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama termasuk Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, dan Sekolah Menengah Pertama Terbuka.
2. Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan pada sekolah yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali secara langsung maupun tidak langsung.
3. Biaya pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan dan/atau diperlukan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan.
4. Standar nasional pendidikan yang selanjutnya disingkat SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Pasal 2
(1) Biaya pendidikan pada sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara; dan/atau
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(2) Biaya pendidikan pada sekolah pelaksana program wajib belajar menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sampai terpenuhinya SNP.
(3) Pemenuhan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui bantuan operasional sekolah.
Pasal 3
Sekolah pelaksana program wajib belajar dilarang memungut biaya investasi dan biaya operasi dari peserta didik, orang tua, atau walinya.

Pasal 4
(1) Sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak boleh melakukan pungutan:
a. yang dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik; dan
b. untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan sekolah.
(2) Sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik, orang tua, atau walinya yang tidak mampu secara ekonomis.

Pasal 5
(1) Sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat yang menerima bantuan operasional tidak boleh memungut biaya operasi.
(2) Dalam keadaan tertentu jika sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pungutan biaya operasi maka sekolah harus:
a. memperoleh persetujuan tertulis dari orang tua atau wali peserta didik;
b. memperoleh persetujuan tertulis dari komite sekolah;
c. memperoleh persetujuan tertulis dari kepala dinas pendidikan provinsi dan kepala dinas pendidikan kabupaten/kota, sesuai kewenangan masing-masing; dan
d. memenuhi persyaratan :
1) perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada SNP;
2) perencanaan investasi dan/atau operasi diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan sekolah;
3) perolehan dana disimpan dalam rekening atas nama sekolah;
4) perolehan dana dibukukan secara khusus oleh sekolah, terpisah dari dana yang diterima dari penyelenggara sekolah; dan
5) penggunaan sesuai dengan perencanaan.

Pasal 6
(1) Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang bertaraf internasional tidak boleh melakukan pungutan tanpa persetujuan tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang dikembangkan menjadi bertaraf internasional tidak boleh melakukan pungutan tanpa persetujuan tertulis dari bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pungutan biaya selain biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan persetujuan pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

Pasal 8
Sekolah yang melakukan pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6, wajib menyampaikan laporan pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan dana kepada:
a. orang tua atau wali peserta didik, komite sekolah, kepala dinas pendidikan kabupaten/kota, dan kepala dinas pendidikan provinsi;
b. bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk untuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah pertama terbuka serta sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang dikembangkan menjadi bertaraf internasional;
c. gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk sekolah dasar luar biasa dan sekolah menengah pertama luar biasa; dan
d. Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang bertaraf internasional.

Pasal 9
(1) Sekolah yang melakukan pungutan yang tidak sesuai dengan Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 dan tidak melaporkan sesuai dengan Pasal 8 huruf a dan huruf c dikenai sanksi administratif:
a. pembatalan pungutan;
b. untuk kepala sekolah berupa:
1) teguran tertulis;
2) mutasi; atau
3) sanksi administratif lain sesuai ketentuan kepegawaian bagi yang berstatus pegawai negeri sipil atau sesuai perjanjian kerja/kesepakatan kerja bersama bagi yang berstatus bukan pegawai negeri sipil.
c. untuk sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat berupa pencabutan ijin penyelenggaraan.
(2) Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama bertaraf internasional atau yang dikembangkan menjadi bertaraf internasional yang melakukan pungutan tanpa persetujuan sesuai dengan Pasal 6 dan tidak melaporkan sesuai dengan Pasal 8 huruf b dan huruf d dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 10
Menteri, gubernur, bupati, atau walikota memberi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sesuai kewenangan masing-masing.

Pasal 11
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

                                                                                  Ditetapkan di Jakarta
                                                                                  pada tanggal 30 Desember 2011
                                                                                  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
                                                                                  REPUBLIK INDONESIA,
                                                                                  TTD.
                                                                                  MOHAMMAD NUH

                                                                              Diundangkan di Jakarta
                                                                              Pada tanggal 4 Januari 2012
                                                                              MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                                                                              REPUBLIK INDONESIA,
                                                                              TTD.
                                                                              AMIR SYAMSUDIN
                                             BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 19
                                             salinan sesuai dengan aslinya.
                                             Biro Hukum dan Organisasi
                                             Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
                                             Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
                                             TTD.
                                             Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H., DFM.
                                             NIP196108281987031003

Artikel POPULER dan artikel ILMIAH


ARTIKEL POPULER dan ARTIKEL ILMIAH
          Beberapa waktu yang lalu kami pernah menyelenggarakan workshop tentang 'penulisan artikel ilmiah' dengan nara sumber bapak Sukardi, SE, MPd , widya iswara LPMP Jawa Tengah.
Nah berikut adalah pointer dari materi yang beliau sampaikan yang mungkin bermanfaat bagi bapak ibu guru yang sedang berupaya mengembangkan diri lebih khusus dalam hal publikasi ilmiah , yang menjadi salah satu tuntutan dalam unsur pengajuan angka kredit untuk kenaikan pangkat guru.
Pengertian KTI, Tulisan, Ilmiah, dan Populer
*      Karya tulis ilmiah (KTI) adalah hasil penelitian dan atau ungkapan gagasan pengetahuan yang ditulis  dengan menggunakan prinsip (kaidah) dan prosedur yang sistematik dan sistemik.
*      Tulisan digunakan untuk menyatakan sebuah karya tulis yang disusun berdasarkan tulisan, karangan, dan pernyataan gagasan orang lain.
*      Penulis digunakan untuk menyebutkan kepada orang yang menyusun kembali hal-hal yang sudah dikemukakan oleh orang lain.
*      Ia bukan pengarang, sebab ia hanya mengkompilasi (meringkas dan menggabungkan) berbagai bahan informasi hingga menjadi cerita baru.
*      Ilmiah: bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.
*      Populer: dikenal dan disukai banyak orang; sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya; ilmu pengetahuan yang mudah dipahami bahyak orang; disukai dan dikagumi banyak orang (KKBI, 2001).
*      Populer: cocok dan mudah dipahami oleh masyarakat mayoritas; disesuaikan dengan makna yang mudah dimengerti oleh kelompok mayoritas; menggunakan bahasa umum yang mudah dipahami oleh masyarakat; terkait dengan masyarakat umum.
*      Ilmiah populer: bersifat ilmu, tetapi menggunakan bahasa umum sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam (tentang artikel, gaya penulisan karya ilmiah) (KBBI, 2001).
*      KTI Populer: karya tulis hasil penelitian dan atau ungkapan gagasan pengetahuan yang disusun  berdasarkan kaidah dan prosedur yang sistematik dan sistemik dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat awam.
BENTUK KTI BAGI GURU
       Karya tulis/karya ilmiah hasil penelitian, pengkajian, survey, dan atau evaluasi.
       Karya tulis/makalah berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri.
       Tulisan ilmiah populer.
       Prasaran berupa tinjauan, gagasan, atau ulasan ilmiah yang disampaikan pada pertemuan ilmiah.
       Buku pelajaran atau modul.
       Diktat pelajaran.
       Mengalih bahasakan buku pelajaran/karya ilmiah

KARAKTERISTIK KTI POPULER:
*      ilmiah;
*      spesifik;
*      faktual;
*      relatif pendek;
*      aktual, tidak kedaluwarso;
*      memiliki daya tarik tinggi;
*      memiliki nilai publishing tinggi;
Penulisan KTI Populer:
  1. KTI populer umumnya mengikuti bentuk penulisan artikel jurnal atau makalah pertemuan ilmiah yang dikemas dalam empat halaman;
  2. Sistematika/struktur: pendahuluan, kajian/ulasan teori, metode, uraian pokok, simpulan dan saran;
  3. Panjang atau pendeknya tulisan serta tata tulisnya disesuaikan dengan persyaratan atau ketentuan dari publishers;
  4. Isi dan format umumnya serupa dengan artikel untuk jurnal, makalah pertemuan ilmiah;
  5. boleh jadi tanpa subheading;
  6. dapat pula diberi subheadings;
  7. penulisan referensi sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah;
  8. jumlah halaman sekitar empat halaman, dua spasi, karakter standar (12);
  9. margin 4-4-3-3;
  10. untuk memperoleh akurasi, validitas, reliabilitas, dan kebermaknaan sejati KTI populer, berbagai data, informasi, isu, masalah, dan substansi materi akan digunakan/ditulis dikonfirmasikan pada sumber data; dikonfirmasi;
  11. konfirmasi dapat dilakukan dengan sumber data (referensi) yang relevan, pihak yang berwenang, atau yang terkait.

KIAT PENULISAN KTI POPULER
*      tentukan tema penulisan pada pengelolaan kegiatan kediklatan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi;
*      dapat pula difokuskan pada berbagai konsep, filosofi, teori, pendapat, pengetahuan, sistem, strategi, prosedur, mekanisme, bentuk, dan pengalaman praktik kegiatan kediklatan;
*      seyogyanya dilakukan identifikasi, analisis, pengorganisasian semua substansi/materi yang berkenaan dengan masalah yang akan ditulis;
*      kembangkan ide-ide secukupnya, kemudian pilih salah satu yang terbaik;
*      buat outline dan key words yang baik untuk mendukung keefektivan penulisan KTI populer
*      ciptakan situasi yang kondusif agar  penulisan KTI Populer dapat dilakukkan secara efektif;
*      mulailah menulis dengan penuh semangat;
*      baca dan baca lagi;
*      kirim ke media masa.

ATURAN UMUM PENULISAN DAN PENGETIKAN
*      Pengembangan kerangka penulisan mencakup identifikasi dan penyusunan topik-topik utama yang diikuti dengan pembedaan setiap topik utama ke dalam subheadings yang logis;
*      Laporan penelitian umumnya ditulis dalam past tense (tidak berlaku dalam bahasa Indonesia) (L.R Gay, 1981);
*      Penulis harus obyektif;
*      Penulis harus konsisten terhadap tujuan;
*      Personal pronoun seperti I, my, we, dan our perlu dihindari;
*      Laporan penelitian harus  ditulis dengan jelas, sederhana, bergaya langsung, dan tidak boleh bosan untuk selalu meningkatkannya;
*      Ejaan, konstruksi kalimat, tanda baca harus benar dalam laporan ilmiah;
*      Hindari penggunaan singkatan;
*      Penulisan nama pengarang  untuk rujukan penulisan laporan penelitian menggunakan nama akhir;
*      Jika awal kata pada suatu kalimat adalah angka, atau angka di bawah sembilan dalam tulisan, umumnya ditulis dengan huruf. Penulisan angka menggunakan angka Arab.
*      Tunjukkan kepada pengetik draf tulisan yang benar dan final. Tugas pengetik adalah mengetik bukan untuk megubah atau memperbaiki tulisan;
*      Jika anda memiliki instruksi khusus; sampaikan kepada pengetik dengan jelas;
*      Hasil pengetikan perlu dibaca dan dikoreksi dengan hati-hati.

FORMAT DAN GAYA PENULISAN
*      Penulis laporan penelitian perlu secara konsisten mengikuti format dan gaya yang terseleksi (baik);
*      Gaya merujuk pada ejaan, penulisan huruf besar dan kecil, tanda baca, dan tata tulis lainnya yang harus diikuti dalam penulisan karya tulis ilmiah;
*      Gaya penulisan, bukan gaya bahasa, umumnya mendekati serupa;
*      Para profesional biasanya mengembangkan gayanya sendiri;
*      Jika Anda menyiapkan rancangan dengan baik, Anda telah memiliki good start untuk menulis KTI;
*      Pengembangan kerangka penulisan mencakup identifikasi dan penyusunan topik-topik utama yang diikuti dengan pembedaan setiap topik utama ke dalam subheadings yang logis;
*      Suatu laporan penelitian umumnya ditulis dalam past tense (tidak berlaku dalam bahasa Indonesia) (L.R Gay, 1981).